PINRANG, BestNews19 – Dalam suatu negara demokrasi yang meletakan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, gerakan people power merupakan aktualisasi gerakan rakyat untuk menyampaikan aspirasi. Dan di Indonesia, sampai saat ini belum ada aturan hukum yang melarang tentang gerakan people power.
Namun nyatanya jajaran elite penguasa yang ada dipemerintahan saat ini bereaksi dengan cukup keras soal adanya isu people power. Terbaru, Menkopolhukam Wiranto akan memantau tokoh, dan bahkan memblokir media sosial. Kapolri, Tito Karnavian, Panglima TNI, Hadi Tjahjanto juga bereaksi senada. People power yang dianggap hanya isapan jempol semata, nyatanya justru membuat pemerintah seperti panik menghadapinya.
Panik adalah sensasi ketakutan yang datang dengan cepat, yang begitu kuat sehingga menghambat kerja logis, yang ditutupi dengan kecemasan dan kegugupan, serta menimbulkan reaksi animalistik, liar. Panik bisa terjadi secara individual maupun massal.
Akar dari kepanikan adalah ketakutan, menurut Leonard J. Scmidt dan Brooke Warner mendefinisikan panik sebagai sebuah emosi yang tidak diimbangi dengan kemampuan kita membayangkan yang lebih buruk dari yang terjadi, sehingga terbitlah kepanikan.
Panik bisa menyebar, mereka yang terjangkiti akan bertindak irasional sebagai konsekuensinya. Maka secara massal, panik membuahkan histeria masal, dan kepanikan masal.
Panik dapat terjadi sebab lingkungan dan juga sosial. Panik bisa disebabkan oleh kehilangan, transisi kehidupan, intinya pada perubahan. Panik juga terjadi sebab terekspos dengan hal yang mereka takuti. Tak hanya itu, panik juga terjadi sebab asumsi dan kepercayaan yang salah, juga perasaan penolakan. Panik terjadi sebab ingin ada asuransi di masa mendatang, sebab khawatir dengan masa depan.
Untaian gejala irasional yang dihadirkan pemerintah berupa upaya penutupan media sosial, dan pengawasan terhadap ucapan, tindakan dan pemikiran warga negaranya adalah sebuah pilihan yang irasional, di tengah semainya demokrasi kita di hampir dua dekade ini. Dengan menuduh perbedaan pendapat sebagai sebuah upaya merongrong negara, tentu bukan pikiran yang rasional dalam demokrasi yang plural semacam ini.
Indonesia dibangun dari pluralitas semacam itu, pikiran kita jamak dan ragam. Bahkan dengan menyebut kubu tertentu, etnis tertentu adalah sebuah sikap yang sama sekali tidak elok diperlihatkan, tidak lumrah, janggal sekali dalam dunia pemerintahan yang berkuasa.
Berdasarkan dari teori panik dalam ilmu psikologi, apa yang dilakukan pemerintah dapat digolongkan ke dalam gejala kepanikan. Gejala ketakutan akan delegitimasi, ketidakpastian masa depan kekuasaan, pada perubahan hasil pemilu, yang memicu kondisi panik, yang memupuk kepanikan bersama.
Walhasil pemerintah bersikap irasional, sebuah sikap lazim yang ditunjukkan seseorang ketika dilanda kepanikan.
Pemerintah seharusnya bisa tampil elegan dengan mendorong KPU dan Bawaslu bersikap seprofesional dan setransparan mungkin, urusan tidak disetujui oleh pihak tertentu, tentu urusan lain.
Ketidakwajaran sikap pemerintah justru memancing kekeruhan di masa penantian ini. Masyarakat menjadi curiga, sebab hanya mereka yang pernah melakukan kebohongan saja gugup ketika kebohongannya akan terbongkar. Gelagat gugup, panik umumnya adalah upaya penutupan sesuatu. Lalu jika pemerintah benar, mengapa harus panik?.
Penulis : M. Ismail Patahangi