Etnis Lombok Tak Rela Haknya Dirampas, Gubernur NTB Diminta Turun Tangan

DOMPU, BestNews19.com – Sengketa Agraria yang terjadi di desa doropeti kecamatan pekat kabupaten dompu sampai hari ini belum menemukan titik terang dan belom mampu diselesaikan meski berkali-kali dilakukan mediasi oleh beberapa pihak hingga ATR/BPN perwakilan propinsi NTB namun pihak PT. SMS (PT. Sukses Mantap Sejahtera) dengan pemda daerah enggan untuk menghadiri mediasi tersebut.

Sementara Pada tanggal 1 desember 2019, Kades Doropeti Dahlan memaksakan kehendak terhadap masyarakat agar melepaskan tanahnya kepada PT SMS dengan alasan kepala desa memaksa etnis Lombok karena tanah perkebunan jambu Mente tersebut sudah diberikan Tali Asih oleh PT SMS.

Menurut pernyataan yang disampaikan oleh Ustaz Manik bahwa Uang Tali Asih tersebut sebenarnya bukan untuk pembayaran lahan melainkan Berdasarkan kesepakatan dengan etnis Lombok Dusun Gunungsari dusun sama dusun bumbune.

“Terkait Uang Pengganti tersebut merupakan pembayaran ganti rugi jambu mente per satu pohon Rp Rp.30.000, namun kepala desa tetap bersih keras karena dalam surat pembayaran tali asih ada tanda tangan mengetahui kepala desa,” ujarnya kepada awak media, selasa kemarin.

“Saya juga sudah melakukan klarifikasi terhadap kepala desa bahwa uang pembayaran Tali Asih itu kan bukan uang bayar lahan kami itu untuk pembayaran jambu mente. Sayapun akan menagih mana tanah pengganti yang dijanjikan oleh Kepala Desa dan PT SMS” ungkapnya.

Pasalnya, ketika ustaz Manik mempertanyakan terkait persoalan tersebut kepada kades doropeti terkait tanah yang pengganti yang dijanjikan. Namun kades doropeti menjawab “Pak Manik kalian mau penjarakan Saya, ini ada tanda tangan saya dalam surat pernyataan Tali Asih Kenapa masyarakat tidak menghargai kami pemerintah. tau nggak pemerintah mulai dari Presiden sampai RT adalah pemerintah yang sah” ucap kades doropeti tersebut ke semua masyarakat.

Selain itu juga sahwan selaku tokoh masyarakat (Ketua RT setempat) menjelaskan kepada kepala desa, jangan dulu bicara masalah sertifikat, yang dibicarakan dulu adalah kesepakatan. jikalau dibuatkan surat kesepakatan apabila ada tanah pengganti baru bisa perusahaan menggusur perkebunan. “kami datang dari Lombok kesini bukan untuk berperang, namun kami datang kesini bekerja dan berladang,” pintanya (Zhi/Dnt).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *